PRO KONTRA EKS NAPI KORUPSI IKUTI PILEG

Daeli Subrianty (1910611172)

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Arief Budiman telah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota pada hari Sabtu tanggal 30 Juni 2018. PKPU ini akan menjadi pedoman KPU dalam melaksanakan tahapan pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota dalam Pemilu 2019. Salah satu aturan di dalam PKPU tersebut mengatur mengenai pelarangan eks narapidana korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Aturan itu tertera pada Pasal 7 ayat (1) huruf h yaitu bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: “Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.[1] Dengan ditetapkannya PKPU tersebut, maka ketentuan tentang pelarangan eks narapidana korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif sudah dapat diterapkan pada masa pendaftaran pemilihan calon legislatif mendatang. Namun, langkah KPU untuk menetapkan larangan eks narapidana korupsi dalam mendaftarkan diri sebagai calon legislatif menuai polemik dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan pemerintah, partai politik, hingga masyarakat.

Suara kontra terhadap larangan tersebut datang dari Presiden Joko Widodo. Pada Mei 2018, beliau menanggapi rencana KPU untuk melarang eks narapidana korupsi dalam pencalonan legislatif di pemilu 2019. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa eks narapidana korupsi mempunyai hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif dan konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk eks narapidana kasus korupsi.[2] Namun, pada akhirnya, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa KPU diberi kewenangan melalui UU untuk membuat peraturan. Presiden Joko Widodo menghormati keputusan KPU untuk menerbitkan PKPU larangan eks koruptor menjadi calon legislatif dan menghimbau para pihak kontra PKPU untuk mengajukan uji materi di Mahkamah Agung.[3] Tetapi pada Januari 2019, tepatnya pada sesi debat calon presiden, suara pro terhadap larangan tersebut juga datang dari Presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo sempat melontarkan pertanyaan kepada Prabowo terkait dengan pernyataan sikap beliau mengenai eks narapidana korupsi yang diloloskan sebagai calon legislatif. Hal ini menunjukkan inkonsistensi Presiden Joko Widodo terhadap rencana pelarangan eks narapidana korupsi dalam pencalonan legislatif di pemilu 2019 tetapi hal ini juga dinilai bahwa argumentasi tersebut hanya digunakan untuk memanfaatkan celah lawan dan hanya sebatas kepentingan perdebatan.[4]

Suara kontra juga datang dari beberapa lembaga hingga beberapa politikus. Eks Ketua DPR, Bambang Soesatyo menilai rencana KPU tersebut terlalu berlebihan. Beliau menegaskan aturan yang ada sudah cukup baik dan hanya perlu dipatuhi, sehingga partai politik maupun masyarakat yang menentukan pilihannya masing-masing. Kemudian, anggota Komisi II DPR yang berasal dari Fraksi PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Ahmad Baidowi menyatakan keputusan KPU berpotensi memunculkan hak angket di DPR. Namun, hak angket ini bukan bermaksud membela para koruptor, tetapi agar KPU tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang ada. Suara kontra juga terdengar dari tanggapan seorang politikus, Abraham Lulung Lunggana. Lulung menyatakan bahwa ia setuju apabila terdapat koruptor yang dicabut hak politiknya, namun apabila hak politiknya tidak dicabut haruslah tertera aturan yang jelas di dalam UU. Dikarenakan hukum positif hingga kini tidak melarang eks narapidana mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif dan hanya pengadilanlah yang mempunyai kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang. Bahkan, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan juga menyatakan suara kontra terhadap PKPU. Beliau menegaskan bahwa aturan yang dibuat KPU tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan eks narapidana yang sudah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama yang bersangkutan mengumumkan diri kepada publik mengenai kasus hukum yang pernah menjeratnya. Selain itu, PKPU dianggap bertentangan dengan Pasal 28 huruf D UUD NRI Tahun 1945. Eks narapidana kasus korupsi dianggap mempunyai hak politik yang sama dengan warga negara yang lain yaitu suatu hak yang dijamin oleh konstitusi.

Selain itu, terdapat berbagai lembaga yang menyatakan suara pro terhadap PKPU tersebut. Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah beranggapan bahwa KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu memiliki kewenangan dalam melaksanakan aturan tersebut. Hal ini juga dianggap sangat sesuai dengan prinsip KPK untuk semakin membatasi ruang gerak terpidana korupsi dalam menduduki jabatan publik. Kemudian, Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Besar Sulistiandriatmoko juga menyatakan suara pro terhadap PKPU dan berharap dengan adanya PKPU dapat membuat jera bandar-bandar narkoba. Sementara itu, Wakil Koordinator ICW (Indonesia Corruption Watch), Ade Irawan menyatakan PKPU ini sebagai langkah progresif KPU dan diharapkan mampu menghasilkan para calon legislatif yang berintegritas dan berkualitas.[5]

Selain dari kalangan pemerintah, beragam polemik pun dituai dari kalangan masyarakat. Suara pro salah satunya dinyatakan oleh seorang pekerja swasta, Wardhany Tsa Tsia, ia  menyatakan bahwa penerbitan PKPU memang perlu dilakukan. Para partai politik seharusnya mendukung PKPU sebagai wujud dukungan terhadap pemberantakan rantai korupsi di kalangan legislatif serta pengusungan orang-orang yang mempunyai rekam jejak bersih. Karena setiap calon legislatif yang berasal dari partai politik ialah sebagai cerminan dari partai politik itu sendiri. Sedangkan, suara kontra pun terdapat di kalangan masyarakat. Salah satunya dinyatakan oleh seorang mahasiswa, Faiz Angger yang beranggapan bahwa eks narapidana korupsi tidak masalah untuk tetap diperbolehkan menjadi calon legislatif sebab keberadaan eks narapidana korupsi tersebut tidak melanggar UU manapun. Namun, eks narapidana korupsi yang menjadi calon legislatif tersebut harus memiliki sebuah tanda di surat suara. Menurut Faiz Angger, masing-masing masyarakat pun sudah mengetahui dan dapat menentukan pilihannya yang terbaik.[6]

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu memang pada dasarnya tidak melarang eks narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilu. Eks narapidana kasus korupsi mempunyai hak politik yang sama dengan warga negara yang lain dan dijamin oleh konstitusi. Namun, bukan berarti PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota bertentangan dengan UU tersebut. Aturan larangan calon anggota legislatif dari eks narapidana korupsi merupakan bentuk perluasan penafsiran dari UU Pemilu yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.[7] Memperluas yang dimaksud yaitu khususnya adalah memperluas tafsiran pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017, yang berbunyi:

(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.[8]

PKPU mengatur mengenai pelarangan eks narapidana korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif yaitu demi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang berkualitas dan penuh integritas. Dengan demikian, pemerintahan tersebut harus dikelola oleh wakil rakyat yang bersih yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.[9]

Terlepas dari beragam polemik yang berasal dari berbagai kalangan, penulis pun menyatakan suara pro terhadap penetapan PKPU yang berisi larangan eks narapidana korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Keberpihakan penulis terhadap PKPU dikarenakan apabila seorang eks narapidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon legislatif, perihal integritas dan etika sebagai calon wakil rakyat tersebut sangatlah dipertanyakan. Ketika seorang wakil rakyat menjadi narapidana korupsi, maka ia telah dinyatakan lalai dan tidak amanah terhadap tugas dan wewenang yang telah diberikan Negara. Dengan itu, apabila eks narapidana korupsi menjadi wakil rakyat kembali, hal tersebut menjadi tidak etis. Eks narapidana korupsi yang menjadi wakil rakyat kembali dinilai dapat berpeluang mengulangi kesalahannya yaitu melakukan korupsi. Dengan demikian, keberadaan eks narapidana korupsi yang kembali mendaftarkan diri sebagai calon legislatif meresahkan masyarakat luas.

Kemudian, para partai politik pun mengusung nama-nama calon legislatif yang memiliki riwayat sebagai eks narapidana korupsi, padahal masih banyak anggota partai politik lainnya yang lebih bersih dan lebih berkompeten. Hal ini juga dapat menjadi tanda tanya besar untuk masyarakat luas, apakah pengusungan tersebut hanya sebatas pemenuhan kepentingan partai politik, atau hal lainnya.

Pemilu dapat menjadi awal upaya menciptakan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN. Dimulai dari membenahi pemilu yang ada yaitu dengan menetapkan PKPU, maka eks narapidana korupsi tidak dapat mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Dengan demikian, PKPU dapat meminimalisasi KKN yang kerap terjadi, dapat menciptakan wakil rakyat yang berintegritas dan memiliki etika, serta memenuhi keresahan masyarakat luas.


[1] Bagus Prihantoro Nugroho, Dwi Andayani, “Pro Kontra Larangan Nyaleg untuk Eks Koruptor,” https://news.detik.com/berita/d-4094865/pro-kontra-larangan-nyaleg-untuk-eks-koruptor, diakses pada 16 November 2019.

[2] Ihsanuddin, “Jokowi Tegaskan Mantan Napi Koruptor Punya Hak jadi Caleg,” https://nasional.kompas.com/read/2018/05/29/18143281/jokowi-tegaskan-mantan-napi-koruptor-punya-hak-jadi-caleg, diakses pada 16 November 2019.

[3] Bagus Prihantoro Nugroho, Dwi Andayani, Loc. Cit.

[4] CNN Indonesia, “Inkonsistensi Jokowi saat Persoalkan Caleg Eks Koruptor,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190118114453-32-361885/inkonsistensi-jokowi-saat-persoalkan-caleg-eks-koruptor, diakses pada 16 November 2019.

[5] Bagus Prihantoro Nugroho, Dwi Andayani, Loc. Cit.

[6] Fitria Chusna Farisa, “Pandangan dan Usulan Masyarakat tentang Caleg Eks Koruptor,” https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/07414501/pandangan-dan-usulan-masyarakat-tentang-caleg-eks-koruptor?page=all, diakses pada 16 November 2019.

[7] Hanum Hapsari, “Dilema Pelarangan Mantan Narapidana Korupsi Mendaftarkan Diri Sebagai Calon Legislatif”, Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang Vol. 4 No. 2 Tahun 2018, (Semarang, September 2018), h. 140-151.

[8] Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 240 ayat (1) huruf g tentang Pemilihan Umum.

[9] Hanum Hapsari, Loc. Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Debate -Research -Legislative Drafting Universitas Pembangunan veteran jakarta